PENDAHULUAN
Konsumsi makanan dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan ketersediaan pangan dalam keluarga. Kebiasaan makan yaitu kegiatan yang berkaitan dengan makanan menurut tradisi setempat, meliputi hal-hal bagaimana pangan diperoleh, apa yang dipilih, bagaimana menyiapkan, siapa yang memakan dan berapa banyak yang dimakan.
Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat.
Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan
pangan.
Konsumsi pangan keluarga merupakan kebutuhan anggota keluarga terhadap pangan yang bertujuan untuk memantapkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan keluarga juga mempengaruhi jumlah dan banyaknya konsumsi makan anggota keluarga. Semakin baik ketersediaan pangan suatu keluarga, memungkinkan terpenuhnya seluruh kebutuhan gizi. Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan cara survei.
Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang, keluarga atau kelompok orang baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Survei secara kuantitatif adalah untuk mengetahui jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sedangkan secara kualitatif adalah untuk mengetahui frekuensi makan, kebiasaan makan (food habit), jenis pangan, dan cara memperolehnya. Salah satu metode yang digunakan pada praktikum kali ini adalah metode inventaris.
Metode inventaris disebut juga log book method. Prinsipnya dengan menghitung atau mengukur semua persediaan makanan di rumah tangga (berat dan jenisnya) mulai dari awal sampai akhir survei. Semua makanan yang diterima, dibeli dan produksi sendiri dicatat dan dihitung atau ditimbang setiap hari selama periode pengumpulan data (biasanya sekitar satu minggu). Semua makanan yang terbuang, tersisa dan busuk selama penyimpanan dan diberikan pada orang lain atau binatang peliharaan juga diperhitungkan. Pencatatan dapat dilakukan oleh petugas atau responden yang sudah mampu atau telah dilatih dan tidak buta huruf.
PEMBAHASAN
Penilaian Konsumsi Pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia. Rendahnya jumlah makanan dan mutu bahan makanan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makanan sehari-hari dapat menyebabkan berbagai masalah dalam kehidupan, antara lain menimbulkan gangguan pada perkembangan mental dan kecerdasan, terganggunya pertumbuhan fisik, timbulnya berbagai macam penyakit, tingginya angka kematian bayi dan anak, serta menurunnya daya kerja (Suhardjo & Riyadi 1990).
Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Supariasa 2001).
Konsumsi jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Supariasa et. al. (2001), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi, dan ketersediaan pangan, sedangkan tingkat konsumsi pangan lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan digunakan untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang dimakan serta dapat membantu menunjukkan persediaan zat gizi dalam tubuh cukup atau kurang. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan cara survei terhadap konsumsi pangan suatu individu atau suatu keluarga. Survei konsumsi pangan termasuk salah satu metode tidak langsung dalam penilaian status gizi. Survei konsumsi pangan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang, keluarga atau kelompok orang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Survei konsumsi pangan secara kuantitatif bertujuan untuk mengetahui jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sedangkan survei secara kualitatif bertujuan untuk mengetahui frekuensi makan, kebiasaan makan (food habit), jenis pangan, serta cara memperolehnya. Data-data yang perlu dikumpulkan dalam melakukan survei konsumsi pangan secara kualitatif meliputi: jenis pangan yang dikonsumsi, frekuensi konsumsi masing-masing jenis pangan, tempat asal pangan, cara penyimpanan, penyiapan dan pemasakan makanan (Suhardjo & Riyadi 1990).
Pola konsumsi merupakan hasil dari proses pembentukan sikap dan perilaku konsumsi bahan makanan yang tersedia. Pola konsumsi dari setiap individu anggota suatu keluarga akan membentuk pola konsumsi keluarga tersebut. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola konsumsi keluarga, antara lain yaitu jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga, tingkat pendidikan formal kepala keluarga, perubahan karakteristik keluarga, dan pendapatan (Sumarwan 1993).
Pola konsumsi per kapita suatu keluarga juga dapat dilihat dari distribusi pangan keluarga tersebut. Distribusi pangan tersebut merupakan indikator dari seberapa besar atau presentase pengeluaran keluarga dari pendapatan yang diperoleh yang digunakan untuk bahan makanan (Sumarwan 1993).
Kecukupan Gizi
Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologis tertentu. Nilai asupan zat gizi harian yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi (Muchtadi 1989).
Standar kecukupan gizi di Indonesia pada umumnya masih menggunakan standar makro, yaitu kecukupan kalori (energi) dan kecukupan protein, sedangkan standar kecukupan gizi secara mikro seperti kecukupan vitamin dan mineral belum banyak diterapkan di Indonesia. Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim, dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Muchtadi 1989).
Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada masing-masing orang per hari bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan keadaan fisiologis individu tersebut. Pada anak usia 0-6 bulan, kecukupan energi dan proteinnya masing-masing sebesar 550 Kalori dan 10 gram. Semakin bertambah umur, kecukupan gizi makro berupa energi dan protein serta zat gizi mikro juga bertambah. Pada anak usia 7-9 tahun, kecukupan energinya meningkat menjadi 1800 Kalori dan kecukupan proteinnya sebesar 45 gram. Remaja dan dewasa pria memiliki angka kecukupan gizi yang lebih besar dibandingkan dengan wanita. Selain itu, keadaan kecukupan gizi yang lebih besar dibandingkan dengan wanita. Selain itu, keadaan fisologis juga sangat berpengaruh terhadap angka kecukupan gizi individu. Pada wanita hamil, kecukupan energinya bertambah 180 Kalori pada saat trimester 1, dan pada trimester 2 serta 3 bertambah 300 Kalori dari kecukupan energi wanita yang tidak hamil pada usia yang sama. Kecukupan protein pada wanita hamil juga mengalami kenaikan, yakni sebesar 17 gram dari kecukupan protein wanita normal (Atmarita & Tatang 2004).
Perencanaan pemenuhan kebutuhan dan kecukupan zat gizi perlu untuk dilakukan agar kecukupan dan kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi secara optimal. Perencanaan pemenuhan kecukupan zat gizi dapat dilakukan melalui beberapa langkah, di antaranya adalah dengan menentukan kebutuhan zat-zat gizi masing-masing individu, memperhatikan zat gizi pada bahan pangan yang akan dikonsumsi, serta upaya pemenuhan menu sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang (Azwar 2004).
Perhitungan energi, protein, Fe, vitamin A, Vitamin C dan kalsium masing-masing individu memperhatikan berat badan aktualnya, kemudian dibagi berat badan acuan dan dikali tingkat konsumsi acuan pada Tabel Angka Kecukupan Gizi Rata-rata Per Orang Per Hari.
Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada masing-masing orang per hari adalah bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan keadaan fisiologis individu tersebut. Angka kecukupan gizi energi pria yang berusia antara 19-29 tahun adalah 2550 kkal sedangkan untuk perempuan dalam usia yang sama adalah 1900 kkal.
Standar kecukupan gizi tidak hanya dilihat dari zat gizi energi, akan tetapi zat gizi lain juga dan salah satunya adalah protein. Angka kecukupan rata-rata protein per hari untuk pria usia 19-29 tahun adalah 60 g sedangkan wanita sebesar 50 g. Kecukupan protein ini berbeda-beda dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Muchtadi 1989).
Angka kecukupan zat gizi yang berupa Fe berdasakan Tabel Angka Kecukupan Gizi Rata-rata Per Orang Per Hari (WNPG 2004) untuk pria usia antara 19-29 tahun adalah 13 mg dan wanita dengan usia yang sama sebesar 26 mg. Kebutuhan vitamin A antara pria dan wanita berbeda. Pria berusia antara 19-29 tahun membutuhkan vitamin A sebanyak 600 RE sedangkan wanita dalam usia yang sama yaitu 500 RE. Zat gizi berupa vitamin A ini harus dipenuhi karena sangat penting untuk tubuh terutama untuk penglihatan. Angka kecukupan vitamin A keuarga sudah tercukupi karena bahan pangan yang dikonsumsi pada makan siang ini terdapat lauk hewani, minyak dan sayuran hijau yang banyak mengandung vitamin A.
Zat gizi berupa vitamin C yang terdapat pada tabel 2 sebesar 83,9 mg. Angka kecukupan rata-rata harian vitamin C pada pria usia 19-29 tahun sebesar 90 mg dan wanita dalam usia yang sama sebesar 75 mg. Vitamin C sangat penting karena dalam tubuh bertindak sebagai antioksidan dan membantu pembentukan kolagen. Angka kecukupan kalsium pria dan wanita berusia antara 19-29 tahun adalah sama yaitu 800 mg. Zat gizi
kalsium ini sangat penting untuk pertumbuhan tulang dan gigi.
Angka kecukupan zat gizi baik zat gizi makro maupun mikro harus dipenuhi secara optimal yang dapat dilakukan dengan cara perencanaan pemenuhan kebutuhan. Perencanaan pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan melalui beberapa langkah, di antaranya adalah dengan menentukan kebutuhan zat-zat gizi masing-masing individu, memperhatikan zat gizi pada bahan pangan yang akan dikonsumsi, serta upaya pemenuhan menu sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang (Azwar 2004).
Pola Konsumsi
Pola konsumsi merupakan hasil dari proses pembentukan sikap dan perilaku konsumsi bahan makanan yang tersedia. Pola konsumsi dapat terlihat dari distribusi pangan yang merupakan indikator dari seberapa besar atau presentase pengeluaran keluarga dari pendapatan yang diperoleh yang digunakan untuk bahan makanan (Sumarwan 1993). Faktor-faktor yang ikut menentukan pola konsumsi keluarga antara lain tingkat pendapatan keluarga, ukuran keluarga, pendidikan kepala keluarga dan status kerja wanita. Teori Engel’s yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan (Sumarwan 1993).
Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih sejahtera bila persentasi pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dari persentasi pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan keluarga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan. Selain jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan formal kepala keluarga juga berpengaruh terhadap pola konsumsi keluarga. Pendidikan dapat merubah sikap dan prilaku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang dapat merubah pola konsumsinya. Disamping itu makin tinggi tingkat pendidikan formal maka kemungkinannya akan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi (Sumarwan 1993).
Weighted Food Records
Status nutrisi (nutritional status) adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi merupakan gambaran keseimbangan antara kebutuhan tubuh akan zat gizi untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, pemeliharaan fungsi normal tubuh, dan untuk produksi energi dan intake zat gizi lainnya. Ada berbagai cara untuk mengukur status nutrisi, salah satu diantaranya yaitu food weighing (Metode penimbangan).
Food weighing adalah salah satu metode penimbangan makanan. Pada metode penimbangan makanan ini responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama satu hari. Food weighing mempunyai ketelitian yang lebih tinggi dibanding metode-metode lain karena banyaknya makanan yang dikonsumsi sehari-hari diketahui dengan cara menimbang.
Proses food weighing ini, semua makanan yang akan dikonsumsi pada waktu makan pagi, siang, dan malam serta makanan selingan antara dua waktu makan ditimbang dalam keadaan mentah (AP). Juga ditimbang dan dicatat makanan segar yang siap santap serta makanan pemberian. Selain itu dilakukan inventory terhadap pangan yang tahan lama seperti gula, garam, merica, kopi, dan sebagainya pada waktu sebelum masak pagi dan setelah makan malam atau keesokan harinya. Setiap selesai makan ditimbang semua makanan yang tidak dimakan, yang meliputi makanan sisa dalam piring, sisa makanan yang masih dapat dilakukan untuk waktu makan selanjutnya, yang diberikan pada ternak dan yang diberikan pada orang lain. Makanan yang dibawa ke luar rumah oleh anggota keluarga misalnya untuk bekal sekolah dan yang dimakan oleh tamu juga ditimbang dan dicatat untuk menghitung konsumsi aktual (Kusharto & Sa’diyah 2008).
Langkah-langkah pelaksanaan penimbangan makanan:
· Petugas/responden menimbang dan mencatat bahan makanan/makanan yang dikonsumsi dalam gram.
· Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari, kemudian dianalisis dengan menggunakan DKBM atau DKGJ (Daftar Komposisi Gizi Jajanan).
· Membandingkan hasilnya dengan Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG). Perlu diperhatikan disini adalah, bila terdapat sisa makanan setelah makan maka perlu juga ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah sesungguhnya makanan yang dikonsumsi.
Bagan Prosedur Kerja Food Weighing
Disiapkan masing-masing bahan makanan untuk setiap menu
↓
Ditimbang semua bahan makanan
↓
Dicatat untuk mendapatkan berat kotor
↓
Dikupas bahan makanan atau dipisahkan dari bagian-bagian yang tidak dapat
dikonsumsi
↓
Dicatat untuk mendapatkan berat yang dapat dikonsumsi
↓
Dimasak bahan makanan sesuai prosedur yang berlaku
↓
Ditimbang berat matang
↓
Dicatat hasil penimbangan
↓
Menu makanan dibagi per porsi makanan untuk tiap anggota keluarga
↓
Ditimbang berat per porsi
↓
Dicatat hasil penimbangan
↓
Ditimbang jika ada makanan sisa
↓
Data diolah untuk menilai konsumsi pangan
Kelebihan Metode Penimbangan :
1. Data yang diperoleh lebih akurat/teliti.
Kekurangan metode penimbangan :
1. Memerlukan waktu dan cukup mahal Karen aperlu peralatan
2. Bila penimbangan dilakukan dalam periode yang cukup lama, maka responden dapat merubah kebiasaan makan mereka.
3. Tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil
4. Memerlukan kerja sama yang baik dengan responden (Nyoman, 2002).
Kesimpulan
Pola konsumsi pangan dapat dilihat dari distribusi pangan melalui food weighing. Hal yang dilakukan adalah menimbang bahan-bahan yang dikonsumsi dan dihitung kandungan gizinya serta tingkat kecukupan. Pada metode ini responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama satu hari. Food weighing mempunyai ketelitian yang lebih tinggi dibanding metode-metode lain karena banyaknya makanan yang dikonsumsi sehari-hari diketahui dengan cara menimbang.
Saran
Penilaian konsumsi pangan dengan metode food weighing sangat memerlukan ketelitian dalam penimbangan makanan. Pemilihan bahan pangan untuk suatu menu sebaiknya berpedoman kepada bahan makanan beragam dan berimbang. Selain itu, metode ini cukup rumit, tidak praktis, dan membutuhkan waktu yang lama sehingga perlu kesabaran dalam proses pengambilan data.
DAFTAR PUSTAKA
Gibsond, Rosalind. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment Second Edition. London: Oxford University Press
Mey. 2008. Antropometri. www.mey_PH’s.htm [3 November 2011].
Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen P&K DIKTI PAU Pangan
dan Gizi IPB, Bogor.
Suhardjo & Hadi Riyadi . 1990 . Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat PAU – P & G.
IPB . Bogor Wilson . E . P . Fisher . K . H . & Garcia . P . 1979 .
Sumarwan. 1993. Keluarga Masa Depan dan Perubahan Pola Konsumsi. Warta dari
Perspektif Makro ke realitas Mikro. Lesfi. Yokyakarta.
Supariasa et.al. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
0 komentar:
Posting Komentar